Insiden Emergency Door dan Keadilan Hukum

Senin (30 September 2013) bukan saja sebagai peringatan kelamnya masa Indonesia tahun 1965, namun juga ada kejadian yang juga memperingatkan kepada kita semua. Di wilayah Indoensia Timur atau tepatnya di Bandara Sam Ratulangi, telah terjadi insiden berupa dibuka pintu darurat (emergency door) dalam pesawat JT 775 Lion Air rute Manado-Jakarta pada saat menuju taxiway, sebelum melakukan take off . Penyebabnya adalah protes dari sejumlah penumpang yang dikecewakan oleh pihak Lion air karena keterlambatan keberangkatan ditambah dengan pendingin udara (AC pesawat) yang tidak berfungsi secara normal sehingga suhu udara di dalam kabin pesawat menjadi panas. akibatnya penumpang merasa gerah dan tidak nyaman. Ditambah lagi saat protes dilakukan kepada kru pesawat, penumpang tidak mendapatkan tanggapan yang memuaskan, bahkan kapten pesawat menyalakan mesin pesawat dan menuju taxiway. Melihat suasana yang sudah tidak nyaman, salah seorang penumpang membuka pintu darurat sehingga pesawat yang sudah mundur dari apron menuju taxiway membatalkan dan kembali ke apron.

(Gambar: detik.com)

Menurut peraturan yang berlaku, tindakan penumpang yang membuka pintu darurat atau pun hal senada lainnya (seperti mengambil/membawa pelampung bukan pada saat kondisi darurat) dikenakan sanksi denda atau pun pidana. Hingga penundaan keberangkatan sampai pemberangkatan penumpang JT 775, tidak ada seorang pun yang ditangkap dalam tindakan tersebut. Hal ini tentu menjadikan hukum menjadi tidak tegas atau aturan memang berfungsi untuk dilanggar?

Namun, bila dilihat lebih bijak dari semua sisi, tindakan tersebut tidak serta merta terjadi secara spontan atau istilahnya ada asap karena adanya api atau bara. Menurut pihak bandara Sam Ratulangi, Manado (berdasarkan detik.com), kondisi pendingin udara pesawat untuk dilakukan pengisian (charging) sudah disampaikan oleh bagian engine yang diteruskan ke bagian keuangan Lion Air, namun tidak disetujui. Hal ini yang diduga sebagai kelalaian pihak Lion Air sehingga membuat ketidaknyaman penumpang. Padahal untuk melakukan pengisian dibutuhkan biaya sekitar 1,1 juta rupiah. Entah karena “penghematan” atau alasan lain, justru Lion Air mengaku mengalami kerugian ratusan ribu dolar (atau ratusan juta) sebagai akibat insiden tersebut.

Lalu bagaimana dengan penerapan hukum atau aturannya? Berkaca dari kejadian beberapa tahun  lalu yang dikisahkan tentang seorang nenek mencuri di sebuah perkebunan karena untuk makan sehingga dikenakan pidana tindak pencurian berupa denda. Beberapa berita di dunia maya (entah benar terjadi atau tidak), menceritakan pada akhirnya hakim secara pribadi memberikan uang dan meminta pengunjung sidang untuk memberikan uang (semacam sumbangan) karena membiarkan seorang nenek kelaparan sehingga terpaksa melakukan tindakan pencurian.

Kembali pada insiden 30 September 2-13 di Sam Ratulangi, apabila hukum bertindak adil dan bijak, semestinya pelaku tetap diproses (asal juga tidak dibuat yang sulit-sulit atau lebih baik diproses secepat mungkin), hanya saja yang menanggung adalah pihak Lion Air, karena penyebab utama adalah maskapai yang terkenal murah tersebut sehingga hukum atau aturan tetap tegas namun bertindak secara adil dan bijak.

Bagaimana menurut anda?