Simulasi Penanggulangan Bencana
Satu lagi pengalaman yang berharga dari Negeri Matahari Terbit. Di negara ini, bencana selalu mengancam seperti gempa bumi, tsunami, serta angin topan. Selain itu juga kebakaran merupakan situasi yang tidak diinginkan namun bisa terjadi sewaktu-waktu dan harus bisa ditanggulangi. Bencana-bencana tersebut tidak bisa dihindari, namun di negeri tersebut berusaha untuk menerapkan sistem yang bisa menanggulangi atau menekan dampaknya. Sistem yang diterapkan adalah pengenalan atau pelatihan penanggulangan pada sekolah-sekolah serta masyarakat secara berkala. Sebagai contoh adalah sosialisasi simulasi bencana pada mahasiswa asing di Gifu University.
Pada awal sosialisasi, peserta dibagikan semacam manual sederhana dalam bahasa Jepang, Korea, Inggris, dan Spanyol. di dalam manual tersebut digambarkan cara menelpon layanan darurat (119) serta cara menyampaikan apabila terjadi bencana, misalnya kebakaran cukup menyampaikan kata “fire” (baca: fayer), maka operator akan mengerti dan melacak alamat telepon secara otomatis. Biasanya dalam jangka waktu 5-10 menit akan ada petugas yang datang. Di dalam manual itu juga digambarkan cara memadamkan api dengan alat pemadam serta tindakan-tindakan dalam penanggulangan bencana.
Selama sosialisasi juga dipraktekkan cara memadamkan api menggunakan alat pemadam kebakaran, namun simulasi yang dilakukan hanya berupa simbol api serta alat pemadam yang hanya berisi air (bukan pemadam karbocndioksida atau bahan kimia lainnya.
Gambar simulasi penanggulangan kebakaran menggunakan alat pemadam oleh petugas (Gambar kiri) dan peserta (Gambar kanan)
Selain itu juga peserta menjalani simulasi gempa menggunakan mobil gempa buatan. Mobil atau sejenis truk dirancang dengan meja dan kursi dan skala kegempaannya (Skala Richter). Sebagai misal gempa 7 SR disimulasikan selama 20 detik. Peserta simulasi merasakan goyangan layaknya gempa yang terjadi.
Gambar truk simulasi gempa bumi
Video simulasi gempa dapat dilihat di sini
Di dalam simulasi, peserta juga dikenalkan dalam ruangan yang dipenuhi dengan asap sebagai bagian dari kebakaran. Peserta diminta berjalan merunduk agar bisa bernafas serta ruangan yang sangat gelap.
Gambar peserta yang akan memasuki ruang simulasi kebakaran (ruang penuh asap)
Untuk videonya dapat dilihat di sini
Seperti dijelaskan sebelumnya, kegiatan simulasi di Jepang bukan bersifat sesaat ataupun latah setelah kejadian besar berlangsung. MEreka melaksanakan secara rutin setahun sekali atau bahkan hingga tiga kali. Mungkin hal ini pelajaran yang perlu dicontoh. Mencontoh sesuatu yang baik tidak berdosa kok, cuma “jaim”nya saja yang perlu dihilangkan.